Hikmah Maulid di Malam Nuzul Al Quran 

Wacana.info
Dr. Anwar Sadat, M.Ag. (Foto/Facebook)

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)

Judul di atas mungkin membuat pembaca bertanya-tanya, apa hubungannya antara maulid dengan turunnya Al Quran ?. Secara singkat penulis dapat jelaskan bahwa jika acara maulid Nabi yang setiap tahun digelar selama ini pada tanggal 12 Rabiul Awal, maka sesungguhnya kita telah 'salah kaprah' karena tanggal 12 Rabiul Awal adalah hari kelahiran seorang anak manusia yang bernama Muhammad (yang terpuji). 

Sementara kelahiran Nabi (baca: pelantikan pertama sebagai Nabi) justru terjadi pada tanggal 17 Ramadhan yang selama ini dijadikan sebagai malam Nuzul Al Quran. 

Sebagai perbandingan, hari lahirnya Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus 1945 karena hari itu pertama kali resmi diakui dan disepakati sebagai sebuah Negara. Namun kata Indonesia itu sendiri jauh sebelumnya sudah dikenal oleh para penjajah sebagaimana dijelaskan dalam kamus-kamus besar. Bahkan pernah disinggung oleh Multatuli dalam karyanya yang berbahasa sangsekerta meski dalam idium yang sedikit berbeda. 

Dari analisa tersebut, penulis berpandangan bahwa maulid Nabi Muhammad SAW seyogyanya diperingati bersamaan dengan Nuzul Al Quran, bukan ditanggal 12 Rabiul Awal. 

Berikut ini adalah uraian singkat hikmah Maulid di malam Nuzul Al Quran.

Momentum turunnya Al Quran bukan merupakan peristiwa alam biasa. Indikator kedahsyatannya adalah ketidakberdayaan akal untuk menganalisis pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kalaupun beberapa pakar mampu menjelaskan sejumlah hikmah yang terpancar, akan tetapi kemampuan penguraiannya hanya mampu menyuguhkan setetes air di tengah lautan ilmu yang maha luas.  

Al Quran kita yakini sebagai mu’jizat yang terbesar dalam sejarah agama-agama yang pernah hadir di bumi. Kita menyadari sepenuhnya bahwa satu-satunya kitab suci yang tertulis dalam bahasa asli sejak diturunkannya hingga sekarang adalah Al Quran. Ia yang diturunkan dalam bahasa Arab itu sampai sekarang tetap menggunakan bahasa yang sama dengan apa yang diterima oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, menurut pakar metodologi studi Islam hanya Al-Quran-lah satu-satunya kitab suci yang bebas dari kritik sejarah, sebab justru sejarah itu sendiri yang membuktikan keaslian Al Quran. 

Memahami ajaran agama sesungguhnya sama saja memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan rasionalitas masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya mem- break down dalil-dalil normatif menjadi teori-teori sosial. 
Dan itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah selama ini.

Jika agama difahami secara integral dengan kondisi sosiokulturalnya, pada saat itulah akan tampak dengan sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak. Di sinilah agama terlihat mampu menunjukkan fungsi kritisnya untuk mengubah struktur budaya yang tidak mendukung kemanusiaan yang adil dan beradab. 

Ketika fungsi ini gagal diterapkan, maka yang tersisa hanya mitologi dan kultus. Pada lapisan inilah akan muncul pemeluk-pemeluk agama yang hanya bisa ber-'asyik-masyuk' dengan kesalehan individualnya. Tetapi bersikap masa bodoh pada lingkungan sekitarnya. Wallahu a'lam bis shawab...

Rea Barat,  10 Mei  2020